21 Agustus, 2011

Bila Takdirmu Dipoligami

Aku tak tahu, apa yang akan kuceritakan. Aku wanita asli solo, meski berdarah keturunan. Suamiku juga berasal dari kota batik itu. Kami pun tinggal, menikah dan menjalani hidup berumah tangga hingga 27 tahun di sana.

Aku menikah di usia 18 tahun, sementara suamiku 22 tahun. Kini, aku telah memasuki 45 tahun, sementara suamiku sudah 48 tahun.Selama ini, kami hidup tentram. Sampai saatnya, aku mulai memasuki masa manopause, dan suamiku ingin menikah lagi. Ia ingin berpoligami. Ingin mencari wanita lain sebagai maduku.

Entahlah, aku tidak bisa mengungkapkan semuanya sebegitu detilnya. Yang jelas, aku merasa berat sekali. Terus terang, semenjak sepuluh tahun terakhir ini, suamiku semakin rajin mendalami agama, banyak menghadiri majelis ilmu, dan tekun menjalankan ibadah-ibadah sunnah. Sementara aku sendiri memang tergolong malas mengaji.

Sehingga, diantara kami ada jurang pemisah yang cukup dalam. Di mana suamiku mengalami banyak perubahan dalam menata diri, dalam membina iman dan islamnya, sementara aku diam di tempat, atau malah mundur beberapa langkah.

Suamiku sering menyuruhku untuk mengenakan busana muslimah yang sesuai syari’at, tapi aku enggan menaatinya. Aku kadang mengenakan kerudung kecil, hanya pada even-even penting saja. Selebihnya, setiap hari aku tampil dan berbusana bebas mengumbar sebagian auratku di mana-mana. Pernah beberapa kali suamiku mengajak mengaji, dan aku mengenakan busana muslimah yang layak. Tapi, mungkin hanya 2 atau 3 kali dalam rentang sepuluh tahun ini. Tak memberi bekas sedikit pun pada diriku. Aku bahkan tak pernah lagi menyambut panggilannya untuk menghadiri majelis ilmu.

Suamiku tak kehabisan akal. Ia mengundang seorang ustadz, untuk mengisi pengajian di rumah kami yang cukup besar, karena sumiku pengusaha yang lumayan sukses. Setiap pekan, rumahku didatangi banyak orang. Kaum prianya mengenakan pakaian-pakaian muslim, dan wanitanya datang dengan berhijab ketat, bahkan sebagian bercadar. Sehingga otomatis, setiap pekan aku mendengarkan siraman-siraman rohani yang berupaya menyadarkanku atas kewajibanku sebagai muslimah.


Namun, semua itu tak juga membekas dalam jiwaku. Aku lebih akrab dengan para tetanggaku yang gemar bergosip. Aku lebih memilih berkawan dekat dengan teman-teman wanitaku yang mengajakku jalan-jalan di mall, tour ke luar daerah, atau mengisi waktu dengan bersenang-senang.

Sampai datang waktu itu, 27 tahun setelah pernikahanku, saat suamiku berhasrat ingin berpoligami. Itu didorong oleh keinginannya menjaga kesucian diri. Karena ia masih memiliki hasrat seksual, sementara aku sudah manopause. Ia juga masih ingin memiliki anak. Dariku, ia hanya memperoleh dua orang anak saja, karena aku memang tak mau punya momongan lebih dari dua.

Suamiku akhirnya melamar seorang gadis muslimah yang cantik dan berhijab rapat. Lamarannya diterima dengan senang hati olehnya, dan pihak orang tuanya. Semua berjalan begitu mulus, tanpa hambatan sedikit pun.

Saat mendengar itu, aku berontak. Aku menuntut cerai darinya. Saat ia pulang dari pengajian, aku memarahi dan memaki-makinya. Namun suamiku mencoba bersabar, dan bahkan menasehatiku atas sikapku tersebut.

Semalaman, kami berdiskusi alot. Aku bertahan untuk tetap meminta cerai, meski pernikahan suamiku dengan gadis itu baru akan dilangsungkan 3 hari lagi. Sementara ia tak bosan-bosannya mengingatkanku  akan kewajiban sebagai wanita muslimah, untuk menaati suami, selama suami tak bermaksiat. Dan bahwa poligami yang dia lakukan adalah kebutuhan manusiawi yang diperbolehkan dalam islam untuk dipenuhi melalui jalan tersebut. Tapi, aku tetap ngotot pada pendirianku, bahwa seumur hidup aku tak akan pernah mau hidup dalam rumah tangga yang memberlakukan poligami, aku tak sudi dimadu.


Saat tiba waktu pengajian, usai kami mengaji –sebuah pengajian yang saat itu membuatku muak-, suamiku mengajakku mendekat. Setelah itu, ia meminta ustadz yang mengisi pada saat itu untuk memberikan wejangan dan nasihatnya buat kami berdua.

Setelah memberi tausiah atau nasihat umum, si ustadz berkata,
            “
ukhti ‘F’ bersyukurlah kepada Allah, karena ukhti dianugerahi suami seperti akh ‘N’ ini. Ia baik dan shalih. Ia juga sangat bertanggung jawab. Ia rajin mengaji, meski di usia yang tak lagi muda. Kalau ia ingin menikah lagi, dan ukhti tetap menjadi istrinya, sungguh merupakan kebaikan buat ukhti sendiri dan buat kalian semua. Kalau ukhti bersikeras meminta cerai, saya khawatir ukhti akan kesulitan mendapatkan pria sepertinya lagi...”

Ustadz itu menasehatiku panjang lebar, dengan bahasa yang santun dan lembut. Namun di pendengaranku, ucapannya itu amat pedas dan menambah muak saja. Petuah-petuah yang sesungguhnya sangat bermakna dan sarat dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shalallah ‘alaihi wasallam itu, di telingaku tak ubahnya celotehan anak kecil yang serba menyebalkan. Entah, mungkin karena hatiku begitu jauh dari nilai-nilai iman.

Akhirnya, aku tetap memutuskan meminta cerai. Dan dengan berat hati, suamiku melepaskanku. Kami pun resmi berpisah. Dua orang anak kuserahkan kepadanya.

“Biar anak-anak kita tetap bersama ayah dan ‘ibu’ mereka,” ujarku memberi alasan.




Setelah bercerai, aku segera pergi jauh meninggalkan mereka. Aku tak sanggup hidup di kota, di mana aku akan selalu melihat mantan suamiku itu bersama istri barunya. Aku bertekad hidup mandiri. Akhirnya, aku pergi menemui beberapa orang kerabatku di jakarta, dan tinggal di sana.

elama beberapa bulan aku di sana. Dalam hati, aku tak ingin kembali menikah, mengingat usiaku sudah lebih dari 45 tahun, sudah manopause dan tak lagi bergairah terhadap laki-laki.
            Aku pun mengisi waktuku dengan bekerja pada sebuah usaha kain milik seorang pria kaya 50 tahunan lebih. Di situ, aku dipercaya sebagai supervisor, karena aku punya pengalaman yang sama saat suamiku dahulu juga memiliki usaha kain batik.
            Selama beberapa bulan aku bekerja di situ, dan menikmati kesendirianku. Sisa-sisa waktu yang kumiliki, kugunakan untuk bersenang-senang dengan teman-teman wanita baruku di jakarta, dengan pergi makan dan berjalan-jalan.

Akhirnya tiba pula hari yang mengejutkan itu. Aku dilamar oleh pemilik usaha di mana aku bekerja. Ia orang kaya. Bahkan lebih kaya dari mantan suamiku. Saat mendengar itu, aku kaget dan serta merta menyatakan ketidaksetujuan.

Tapi, ia tipe pria yang begitu gigih. Setiap waktu ia berusaha membujukku. Ia berjanji akan memberikan kebahagiaan buatku, bila aku mau menjadi istrinya. Aku mengatakan bahwa aku sudah di usia yang tak mungkin lagi menjadi istri yang baik. Aku tak bisa lagi melakukan hubungan seks secara normal. Tapi tak disangka, ternyata ia tetap gigih dan bersikukuh ingin mempersunting diriku. Aku pun bingung.


“Menikah itu bukan semata-mata hanya untuk seks ...” ujarnya beralasan.
“Cinta tak harus berakhir di tempat tidur..” ujarnya lagi.
“Kita bisa tetap menikah, dan melampiaskan cinta dengan cara kita sendiri,” ungkapnnya puitis.
Aku pun luluh. Akhirnya, kuterima lamarannya. Aku dipersunting dan akhirnya dia nikahi sebagai istrinya.

Kenyataan yang membuatku kadang termangu-mangu adalah, bahwa aku, kembali harus hidup bermadu! Kenapa? Karena ternyata ia pria yang sudah bersuami dan aku tahu itu. Aku dinikahinya sebagai istri kedua!

Aku menghindari poligami dan menghindari dimadu sebagai istri pertama, tapi akhirnya  aku harus pula mengalami hidup dalam poligami seorang suami, dan bermadu sebagai istri kedua. Laa hawula walaa quwwata illa billah.

Tapi, hal yang menyakitkan kurasakan begitu hebat, pada saat-saat berikutnya. Ternyata, suami baruku ini bukanlah tipe suami yang baik, dalam segala sisinya.


Pertama, ia orang yang kasar, pemarah dan mudah tersinggung. Jauh berbeda dengan mantan suamiku yang begitu penyabar, penuh kasih dan pengertian.

Kedua, ia sering menghabiskan waktu malamnya di luar rumah, bersama rekan-rekan bisnisnya. Entah apa saja yang ia lakukan di luar sana, aku pun tak mengerti. Dari istri pertamanya aku mengetahui banyak hal buruk pada diri suami kami itu. Ia sendiri juga semenjak lama ingin meminta cerai, bahkan sebelum suaminya itu menikahiku. Tapi, suaminya tak mau meluluskannya.

Sungguh bertolak belakang dengan mantan suamiku yang lebih banyak menghabiskan waktu bersamaku di rumah. Kalaupun keluar, hanya untuk urusan mengaji atau berbisnis, dan itu pun tak banyak.

Ketiga, ia ternyata jarang menyentuh istrinya, meski di masa-masa muda dahulu. Mereka hanya memiliki seorang anak yang sudah cukup dewasa. Semenjak dahulu, suaminya sangat kurang memenuhi kebutuhan biologis sang istri. Selain itu, ia sama sekali tidak romantis, seperti yang kubayangkan sebelumnya. Ia hanya manis di mulut, dan busuk di hati. Setidaknya, itulah yang terungkap dalam sikap kesehariannya yang selalu menyakitiku, dan juga istri tuanya.


Aku jadi sering berpikir, untuk apa ia menikahiku? Untuk apa ia berpoligami? Kalau kenyataannya untuk memenuhi kebutuhan seks seorang istri saja dia tidak mampu?

Keempat, ia pria muslim yang sangat jauh dari agamanya. Ia bahkan tak pernah shalat, kecuali sesekali saja dalam pertemuan-pertemuan tertentu bersama rekan-rekannya, atau di bulan puasa, atau sekedar shalat ‘ied setahun sekali saja. Selebihnya, ia memang tidak shalat.

Bukan hanya tak shalat, ia bahkan juga tak mengenal cara membaca Al-Qur’an dan sangat alergi mendengar ceramah-ceramah keagamaan. Saat pikiranku buntu, aku mencoba menghadiri majelis-majelis ilmu, namun dia justru melarangku.

Ya Allah, apa yang terjadi pada diriku ini?

Aku pun menghabiskan masa-masa tuaku dengan penuh kepedihan. Aku pernah beberapa kali meminta cerai. Tapi, tidak seperti suamiku dulu, sekarang ini berapa kali pun aku memohon, dan seberapa pun hebatnya aku menangis menuntutnya, ia tidak juga mengabulkannya.

Saat aku mencoba mengadukan perkaraku ke pengadilan, aku kalah. Karena aku tak mampu membuktikan alasan yang benar untuk meminta cerai. Selain itu, suamiku memiliki uang lebih untuk dapat memenangkan kasusnya. Sedangkan aku?


Dalam keheningan, aku seakan-akan kembali mendengar nasihat dari ustadz mantan suamiku dulu,
             
“Bersyukurlah kepada Allah, karena ukhti dianugerahi suami seperti akh ‘N’ ini. Ia baik dan shalih. Ia juga sangat bertanggung jawab. Ia rajin mengaji, meski di usia yang tak lagi muda. Kalau ia ingin menikah lagi, dan ukhti tetap menjadi istrinya, sungguh merupakan kebaikan buat ukhti sendiri dan buat kalian semua. Kalau ukhti bersikeras meminta cerai, saya khawatir ukhti akan kesulitan mendapatkan pria sepertinya lagi...”

Memang benar. Aku tak pernah mampu lagi mendapatkan suami sepertinya. Kini, aku sangat menyesal kenapa aku dahulu meminta cerai darinya. Sekarang, segalanya telah terlambat. Nasi telah menjadi bubur. Takdir tak dapat lagi kuhindari.

Selama ini seolah-olah aku berusaha keluar dari kesulitan dari kesulitan. Padahal, aku sedang berlari kencang menuju sumber kesulitan itu sendiri. Tanpa aku menyadarinya.

Ya Rabbi, ampunilah segala dosa hamba-Mu ini...........

Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘jadilah’ maka terjadilah ia ...” ( Yaasiin : 82 )


Diambil dari buku : Aku Wanita Yang Dipoligami (kisah keenam dari 13 kisah nyata yang unik), karya Abu Umar Baasyir....


Taken From THIS SITE

7 komentar:

  1. bagaimana yang punya Blog menyikapi hal tersebut ??

    BalasHapus
  2. rasanya tak ada yang perlu disikapi..
    ini merupakan sebuah pelajaran..

    BalasHapus
  3. sedih rasanya, jika aku yg harus berbagi. Yah kalau sj maduku it lebih taat agama,menutup aurat dan lbh santun mgkn berberat ht akn mnrima mskipun tak kuasa. Byangkan bila madu qt orang yg mengumbar aurat tdk lbh baik dr qt. It dasar Nafsu, apa iya aku Merelakannya ?

    BalasHapus
  4. Saya wanita muslimah yang dulunya sangat menentang poligami, sampai pada akhirnya saya sadar, bahwa saya telah membenci ketentuan Allah. Saat ini walaupun suami saya masih monogami, tetapi saya sudah menyiapkan hati untuk berbagi dengan muslimah lainnya. Menurut saya kita tidak akan pernah siap selama kita mencintai suami kita bukan sebagai sumber ibadah, tetapi sebagai manusia yang kita klaim sebagai milik kita. Mudah2an kita semua bisa mengikhlaskan suami kita dan membantu meeka apabila memang meeka ada niatan untuk poligami dengan cara menyeleksi calon madu kita. Semoga kita selalu menjadi keluaga yang Sakinah, amin..

    BalasHapus
  5. poligami diayatkan di Qur'an,Allah sudah merencanakan,bahwa laki2 bisa membutuhkan lebih dari satu wanita,meskipun bisa hanya dengan 1 wanita.
    kapan poligami dilakukan"?
    1.dilakukan bukan berdasar mengumbar nafsu,ada tujuan lain
    2.jika istri tidak mampu memberi keturunan,inipun banyak terjadi suami tidak juga melakukan poligami meski istri tidak memberi anak
    3.jika istri menderita penyakit kejiwaan berkepanjangan,sehingga tidak cakap berfungsi sebagai istri bagi suaminya
    4.jika istri kewalahan dengan gairah suami,bahkan istri meminta suami membaginya dengan menikahi wanita lain
    jika dilihat alasan2 di atas,sesungguhnya yang paling sering dilakukan karena nafsu semata,mungkin suami terpaksa menikahi karena perbuatannya sendiri,menghamili selingkuhan,pacar gelap atau terkena bujuk rayu wanita lain,dlsb
    melihat topik di atas,jelas suami masih ingin menambah anak,istri sudah menopause,suami masih bergairah,istri menopause justru turun gairah,daripada berzina,maka menikahi wanita lain toh sah dan ada hak suami yang dihalalkan secara agama untuk itu.
    istri tdk terima dipoligami atau menerima,itu pilihan.

    BalasHapus
  6. Tidak mampu dimadu bukan berarti menentang syari'at Allah. Inikan tergantung kesanggupan dan ilmu setiap wanita. Bagi wanita yg memang mampu dimadu, ya jangan dihujat. Begitu juga sebaliknya, jangan kita lantas menghujat wanita yg memang tidak mampu berpoligami. Sudahlah, saling menghargai saja antara sesama manusia.

    BalasHapus
  7. terserah deh yg mau poligami sy berdo'a kepada Allah Subhana Wata'ala yg penting bukan suami sy yg berpoligami..Aamiin..sebab sy gak kuat dan indikasi suami tdk bisa adil.

    BalasHapus