Segala puji bagi Allah, Rabb pengatur alam semesta. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. 
Mungkin di antara kita ada yang tidak mengetahui apa itu mahrom dan  siapa saja yang termasuk mahromnya. Padahal mahrom ini berkaitan dengan  banyak masalah. Seperti tidak bolehnya wanita bepergian jauh (bersafar)  kecuali dengan mahromnya. Tidak boleh seorang laki-laki dengan wanita  berduaan kecuali dengan mahromnya. Wanita dan pria tidak boleh jabat  tangan kecuali itu mahromnya. Dan masih banyak masalah lainnya.
Yang dimaksud mahrom[1] adalah wanita yang haram dinikahi oleh laki-laki. Mengenai mahrom ini telah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
وَلَا  تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ  إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا (22) حُرِّمَتْ  عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ  وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ  اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ  نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ  اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ  فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ  أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ  سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (23) وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ  النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ  وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ  مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh  ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan  itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).  Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;  saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang  perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan  dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari  saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara  perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu  yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi  jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan),  maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)  isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam  perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi  pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.  Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali  budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai  ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian  (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk  berzina.” (QS. An Nisa’: 22-24)
Mahrom di sini terbagi menjadi dua macam: [1] Mahrom muabbad, artinya tidak boleh dinikahi selamanya; dan [2] Mahrom muaqqot,  artinya tidak boleh dinikahi pada kondisi tertentu saja dan jika  kondisi ini hilang maka menjadi halal. Berikut kami rinci secara  ringkas.
Mahrom Muabbad
Mahrom muabbad dibagi menjadi tiga: [1] Karena nasab, [2] Karena ikatan perkawinan (mushoharoh), [3] Karena persusuan (rodho’ah).
[1] Mahrom muabbad karena nasab ada tujuh wanita:
Pertama: Ibu.
Yang termasuk di sini adalah ibu kandungnya, ibu dari ayahnya, dan neneknya (dari jalan laki-laki atau perempuan) ke atas.
Kedua: Anak perempuan.
Yang termasuk di sini adalah anak perempuannya, cucu perempuannya dan terus ke bawah.
Ketiga: Saudara perempuan.
Keempat: Bibi dari jalur ayah (‘ammaat)
Yang dimaksud di sini adalah saudara perempuan dari ayahnya ke atas.  Termasuk di dalamnya adalah bibi dari ayahnya atau bibi dari ibunya.
Kelima: Bibi dari jalur ibu (khollaat)
Yang dimaksud di sini adalah saudara perempuan dari ibu ke atas. Termasuk di dalamnya adalah saudara perempuan dari ibu ayahnya.
Keenam dan ketujuh: Anak perempuan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan (keponakan).
Yang dimaksud di sini adalah anak perempuan dari saudara laki-laki atau saudara perempuannya, dan ini terus ke bawah.
[2] Mahrom muabbad karena ikatan perkawinan (mushoro’ah) ada empat wanita:
Pertama: Istri dari ayah (ibu tiri).
Kedua: Ibu dari  istri (ibu mertua). Ibu mertua ini menjadi mahrom selamanya (muabbad)  dengan hanya sekedar akad nikah dengan anaknya (tanpa mesti anaknya  disetubuhi), menurut mayoritas ulama. Yang termasuk di dalamnya adalah  ibu dari ibu mertua dan ibu dari ayah mertua.
Ketiga: Anak perempuan dari istri (robibah). Ia bisa jadi mahrom dengan syarat si laki-laki telah menyetubuhi ibunya.  Jika hanya sekedar akad dengan ibunya namun belum sempat disetubuhi,  maka boleh menikahi anak perempuannya tadi. Yang termasuk mahrom juga  adalah anak perempuan dari anak perempuan dari istri dan anak perempuan  dari anak laki-laki dari istri.
Keempat: Istri dari anak laki-laki (menantu). Yang termasuk mahrom juga adalah istri dari anak persusuan.
[3] Mahrom muabbad karena persusuan (rodho’ah):
- Wanita yang menyusui dan ibunya.
 - Anak perempuan dari wanita yang menyusui (saudara persusuan).
 - Saudara perempuan dari wanita yang menyusui (bibi persusuan).
 - Anak perempuan dari anak perempuan dari wanita yang menysusui (anak dari saudara persusuan).
 - Ibu dari suami dari wanita yang menyusui.
 - Saudara perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
 - Anak perempuan dari anak laki-laki dari wanita yang menyusui (anak dari saudara persusuan).
 - Anak perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
 - Istri lain dari suami dari wanita yang menyesui.
 
Adapun jumlah persusuan yang menyebabkan mahrom adalah lima persusuan  atau lebih. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i, pendapat yang masyhur  dari Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Atho’ dan Thowus. Pendapat ini juga adalah  pendapat Aisyah, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Zubair.
Mahrom Muaqqot
Artinya, mahrom (dilarang dinikahi) yang sifatnya sementara. Wanita yang tidak boleh dinikahi sementara waktu ada delapan.
Pertama: Saudara perempuan dari istri (ipar).
Tidak boleh bagi seorang pria untuk menikahi saudara perempuan dari  istrinya dalam satu waktu berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika  istrinya meninggal dunia atau ditalak oleh si suami, maka setelah itu  ia boleh menikahi saudara perempuan dari istrinya tadi.
Kedua: Bibi (dari jalur ayah atau ibu) dari istri.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا
“Tidak boleh seorang wanita dimadu dengan bibi (dari ayah atau ibu) -nya.” (HR. Muslim no. 1408)
Namun jika istri telah dicerai atau meninggal dunia, maka laki-laki tersebut boleh menikahi bibinya.
Ketiga: Istri yang telah bersuami dan istri orang kafir jika ia masuk Islam.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,  kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu)  sebagai ketetapan-Nya atas kamu.” (QS. An Nisa’: 24)
Jika seorang wanita masuk Islam dan suaminya masih kafir (ahli kitab  atau agama lainnya), maka keislaman wanita tersebut membuat ia langsung  terpisah dengan suaminya yang kafir. Hal ini berdasarkan firman Allah  Ta’ala,
يَا أَيُّهَا  الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ  فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ  عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا  هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآَتُوهُمْ مَا  أَنْفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا  آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu  perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)  mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu  telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu  kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka  tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada  halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka,  mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka  apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.” (QS. Al Mumtahanah: 10)
Keempat: Wanita yang  telah ditalak tiga, maka ia tidak boleh dinikahi oleh suaminya yang  dulu sampai ia menjadi istri dari laki-laki lain.
Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا  تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ  طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ  يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua),  maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan  suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka  tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk  kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan  hukum-hukum Allah.” (QS. Al Baqarah: 230)
Kelima: Wanita musyrik sampai ia masuk Islam.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum  mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari  wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS. Al Baqarah: 221)
Yang dikecualikan di sini adalah seorang laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab. Ini dibolehkan berdasarkan firman Allah Ta’ala,
الْيَوْمَ  أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ  حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ  الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ  قَبْلِكُمْ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ  مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan  (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan  makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita  yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan  wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi  Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan  maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)  menjadikannya gundik-gundik.” (QS. Al Maidah: 5)
Adapun wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki ahli kitab atau laki-laki kafir. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)  beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami  mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu  dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al Mumtahanah: 10)
Keenam: Wanita pezina sampai ia bertaubat dan melakukan istibro’ (pembuktian kosongnya rahim).
Tidak boleh menikahi wanita pezina kecuali jika terpenuhi dua syarat:
(a) Wanita tersebut bertaubat.
Allah Ta’ala berfirman,
الزَّانِي لَا  يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا  يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى  الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang  berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak  dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik,  dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin” (QS. An Nur: 3)
Dengan taubat-lah yang akan menghilangkan status sebagai wanita pezina. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ 
”Orang yang bertaubat dari suatu dosa seakan-akan ia tidak pernah berbuat dosa itu sama sekali.” (HR. Ibnu Majah no. 4250. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
(b) Istibro’ yaitu menunggu satu kali haidh atau sampai bayi dalam  kandungannya lahir. Inilah pendapat Imam Ahmad dan Imam Malik. Inilah  yang lebih tepat.
Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Wanita hamil tidaklah disetubuhi hingga ia melahirkan dan wanita  yang tidak hamil istibro’nya (membuktikan kosongnya rahim) sampai satu  kali haidh.”[2] (HR. Abu Daud no. 2157. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketujuh: Wanita yang sedang ihrom sampai ia tahallul.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
“Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk menikahkan, dinikahkan dan meminang.” (HR. Muslim no. 1409, dari ‘Utsman bin ‘Affan)
Kedelapan: Tidak boleh menikahi wanita kelima sedangkan masih memiliki istri yang keempat.
Allah Ta’ala berfirman,
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat” (QS. An Nisa’: 3)
Bagi kaum muslimin dilarang menikahi lebih dari empat istri. Kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh menikahi lebih dari empat istri dan boleh menikah tanpa mahar.
Inilah pembahasan singkat mengenai mahrom. Semoga bermanfaat. Wa  billahit taufiq. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.  Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa  sallam. 
Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik hafizhohullah, 3/76-96, Al Maktabah At Taufiqiyah.
Diselesaikan di Panggang-GK, 28 Jumadil Awwal 1431 H (12/05/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
[1]  Istilah yang tepat adalah mahrom bukan muhrim. Muhrim adalah orang yang  berihram. Muhrim adalah isim fa’il dari kata “ahroma” yang artinya  berihram. Sedangkan mahrom adalah wanita yang haram dinikahi oleh pria.  Mahrom adalah isim maf’ul dari kata “haroma” yang artinya melarang.
[2]  Catatan penting yang perlu diperhatikan: Redaksi hadits ini  membicarakan tentang budak yang sebelumnya disetubuhi tuannya yang  pertama, maka tuan yang kedua tidak boleh menyetubuhi dirinya sampai  melakukan istibro’ yaitu menunggu sampai satu kali haidh atau sampai ia  melahirkan anaknya jika ia hamil. Jadi jangan dipahami bahwa hadits ini  membicarakan larangan untuk menyetubuhi istri yang sedang hamil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar