Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. 
Jika melihat berbagai berita infotainment dari kalangan selebriti,  kita akan jumpai para artis mulai sadar untuk tidak buka-bukaan aurat di  bulan suci Ramadhan. “Saya mau berpakaian tidak ketat lagi di bulan  suci”, kira-kira seperti itu penuturan sebagian artis. Ada juga yang  mulai sadar bukan karena niatan ingin jadi baik, namun berhubung karena  ada orderan sehingga ia pun harus berbusana religi. Namun sayangnya,  selepas ramadhan, aurat pun kembali diumbar. Sungguh sayang seribu  sayang, ibadah seakan-akan menjadi musiman saja.
Kewajiban Berjilbab itu Setiap Saat
Lihatlah saudariku, bagaimana kewajiban jilbab ini disebutkan langsung pada wahyu yang datang dari langit. Allah Ta’ala berfirman,
يَا  أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ  الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى  أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak  perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka  mendekatkan jilbabnya  ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu  supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di  ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab: 59).
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَقُلْ  لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ  فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan  pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan  perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dar padanya.” (QS. An  Nuur: 31). 
Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atho’ bin Abi  Robbah, dan Mahkul Ad Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah  dan kedua telapak tangan. Berarti selain wajah dan telapak tangan  termasuk aurat yang wajib ditutupi.[1]
Suatu perkara yang dikatakan wajib tentu saja bukan hanya dikenakan  musiman. Sebagaimana halnya shalat, jika diperintahkan dan itu wajib,  tentu saja diwajibkan setiap saat dan bukan hanya satu waktu.  Renungkanlah!
Tidak Menutup Aurat Termasuk Dosa Besar
Sebagaimana diterangkan di atas bahwa aurat wanita muslimah adalah  seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Lantas apa akibatnya  jika yang ditampakkan adalah aurat yang lebih daripada itu? Sebagaimana  kita lihat kelakukan sebagian wanita yang sudah lepas keindahan sifat  malu pada diri mereka, mereka masih memamerkan rambut yang elok dan  paha.
Disebutkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ  مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ  الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ  مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ  لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا  لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku  lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk  memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang,  berpaling dari ketaatan dan mengajak lainnya untuk mengikuti mereka,  kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak  akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium  selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,
نِسَاءٌ  كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ  وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَرِيحُهَا يُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ خَمْسِ مِائَةِ  عَامٍ
“Wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, yang berjalan  berlenggak-lenggok guna membuat manusia memandangnya, mereka tidak akan  masuk surga dan tidak akan mendapati aromanya. Padahal aroma Surga bisa  dicium dari jarak 500 tahun.” (HR. Malik dalam al-Muwaththa’ riwayat Yahya Al Laits, no. 1624)
Para ulama ketika menjelaskan apa yang dimaksud dengan wanita yang  berpakaian tetapi telanjang, mereka maksudkan adalah wanita yang menutup  sebagian badannya, dan menampakkan sebagiannya. Artinya, wanita seperti  ini auratnya terbuka. Contohnya saja adalah wanita yang berpakaian rok  mini, atau menampakkan keelokan rambutnya. Ulama lainnya mengatakan  bahwa maksud wanita berpakaian tetapi telanjang adalah memakai pakaian  yang tipis sehingga terlihat warna kulitnya.[2]
Sungguh, sifat-sifat wanita semacam ini sudah banyak kita temukan di  akhir zaman. Bahkan sungguh mereka tidak punya rasa malu lagi untuk  menampakkan auratnya. Padahal perbuatan ini adalah dosa besar karena di  akhir-akhir hadits sampai diancam tidak akan mencium bau surga. Apalagi  jika perbuatan ini dilakukan public figure, tentu saja ancamannya lebih  parah karena perbuatannya dicontoh orang lain. Dan setiap perbuatan dosa  yang dicontoh orang lain tentu saja orang yang beri contoh akan  menanggung dosanya pula. Allah Ta’ala telah menyebutkan dalam surat Yasin,
وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ
“Dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan”  (QS. Yasin: 12). Maksud ayat ini adalah Allah Ta’ala akan mencatat  setiap amalan yang dilakukan oleh seorang hamba dan bekas-bekas dari  amalannya yang berpengaruh pada yang lainnya. Artinya, jika amalan  kebaikan yang ia diikuiti oleh orang lain, maka itu akan dicatat sebagai  kebaikan baginya pula. Begitu pula yang terjadi jika kejelekan yang ia  lakukan diikuti oleh orang lain. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ  سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ  لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ  شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا  بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ  مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh  orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran  orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran  yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan  kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat  baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi  dosanya sedikitpun.” (HR. Muslim no. 1017). Semoga menjadi renungan di dalam qolbu.
Puasa Bisa Jadi Tidak Bernilai Gara-Gara Tidak Berjilbab
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut melainkan hanya rasa lapar dan dahaga.”  (HR. Ahmad 2/373. 
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya  jayyid). Hal ini menunjukkan bahwa puasa Ramadhan bukanlah dengan  menahan lapar dan dahaga saja. Namun puasa juga hendaknya dilakukan  dengan menahan diri dari hal-hal yang diharamkan. Yang termasuk maksiat  adalah buka-bukaan aurat dan meninggalkan shalat. Ini adalah maksiat.
Jabir bin ‘Abdillah menyampaikan wejangan, “Seandainya engkau  berpuasa maka hendaknya pendengaran, penglihatan dan lisanmu turut  berpuasa, yaitu menahan diri dari dusta dan segala perbuatan haram serta  janganlah engkau menyakiti tetanggamu. Bersikap tenang dan berwibawalah  di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak  berpuasamu sama saja.”
Itulah sejelek-jelek puasa yang hanya menahan lapar dan dahaga saja  ketika berpuasa, sedangkan maksiat masih terus jalan, masih buka-buka  aurat dan enggan berjilbab. Kesadaran untuk berhenti dari maksiat tak  kunjung datang. Ucapan sebagian salaf berikut patut jadi renungan,
أَهْوَنُ الصِّيَامُ تَرْكُ الشَّرَابِ وَ الطَّعَامِ
“Tingkatan puasa yang paling rendah adalah hanya meninggalkan minum dan makan saja.”[3]
Berbagai Alasan Enggan Berjilbab
Berbagai alasan sering dikemukakan oleh para wanita yang masih enggan berjilbab. Coba perhatikan beberapa alasan mereka:
Pertama: Yang penting hatinya dulu yang dihijabi.
Alasan, semacam ini sama saja dengan alasan orang yang malas shalat  lantas mengatakan, “Yang penting kan hatinya.” Inilah alasan orang yang  punya pemahaman bahwa yang lebih dipentingkan adalah amalan hati, tidak  mengapa seseorang tidak memiliki amalan badan sama sekali. Inilah  pemahaman aliran sesat “Murji’ah” dan sebelumnya adalah “Jahmiyah”. Ini  pemahaman keliru, karena pemahaman yang benar sesuai dengan pemahaman  Ahlus Sunnah wal Jama’ah, “Din dan Islam itu adalah perkataan dan  amalan, yaitu [1] perkataan hati, [2] perkataan lisan, [3] amalan hati,  [4] amalan lisan dan [5] amalan anggota badan.”[4]
Imam Asy Syaafi’i rahimahullah menyatakan,
الإيمان قول وعمل يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية
“Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.”[5]
Jadi tidak cukup iman itu dengan hati, namun harus dibuktikan pula dengan amalan.
Kedua: Bagaimana jika berjilbab namun masih menggunjing.
Alasan seperti ini pun sering dikemukakan. Perlu diketahui, dosa  menggunjing (ghibah) itu adalah dosa tersendiri. Sebagaimana seseorang  yang rajin shalat malam, boleh jadi dia pun punya kebiasaan mencuri. Itu  bisa jadi. Sebagaimana ada kyai pun yang suka menipu. Ini pun nyata  terjadi.
Namun tidak semua yang berjilbab punya sifat semacam itu. Lantas  kenapa ini jadi alasan untuk enggan berjilbab? Perlu juga diingat bahwa  perilaku individu tidak bisa menilai jeleknya orang yang berjilbab  secara umum. Bahkan banyak wanita yang berjilbab dan akhlaqnya sungguh  mulia. Jadi jadi kewajiban orang yang hendak berjilbab untuk tidak  menggunjing.
Ketiga: Belum siap mengenakan jilbab.
Kalau tidak sekarang, lalu kapan lagi? Apa tahun depan? Apa dua tahun  lagi? Apa nanti jika sudah pipi keriput dan rambut beruban? Setan dan  nafsu jelek biasa memberikan was-was semacam ini, supaya seseorang  menunda-nunda amalan kebaikan.
Ingatlah kita belum tentu tahu jika besok shubuh kita masih diberi  kehidupan. Dan tidak ada seorang pun yang tahu bahwa satu jam lagi, ia  masih menghirup nafas. Oleh karena itu, tidak pantas seseorang  menunda-nunda amalan. “Oh nanti saja, nanti saja”. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memberi nasehat yang amat bagus,
إِذَا  أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ  تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ ، وَمِنْ  حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ .
“Jika engkau berada di waktu sore, janganlah menunggu-nunggu  waktu pagi. Jika engkau berada di waktu pagi, janganlah menunggu-nunggu  waktu sore. Manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu.  Manfaatkan pula masa hidupmu sebelum datang kematianmu” (HR. Bukhari no. 6416). Nasehat ini amat bagus bagi kita agar tidak menunda-nunda amalan dan tidak panjang angan-angan.[6]
Jika tidak sekarang ini, mengapa mesti menunda berhijab besok dan  besok lagi. Seorang da’i terkemuka mengatakan nasehat 3 M, “Mulai dari  diri sendiri, mulai dari saat ini, mulai dari hal yang kecil”.
Jika Sadar Hanya Di Bulan Ramadhan?
Ibadah dan amalan ketaatan bukanlah ibarat bunga yang mekar pada  waktu musimnya saja. Ibadah shalat 5 waktu, shalat jama’ah, shalat  malam, gemar bersedekah dan berbusana muslimah, bukanlah jadi ibadah  musiman. Namun sudah seharusnya amalan-amalan tadi di luar bulan  Ramadhan juga tetap dijaga. Para ulama seringkali mengatakan,  “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah) hanya pada  bulan Ramadhan saja.”
Ingatlah pula pesan dari  Ka’ab bin Malik, “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan lantas terbetik  dalam hatinya bahwa setelah lepas dari Ramadhan akan berbuat maksiat  pada Rabbnya, maka sungguh puasanya itu tertolak (tidak bernilai  apa-apa).”[7]
Semoga Allah beri taufik dan sungguh hidayah itu begitu indah. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Disusun di Panggang-GK, 20 Sya’ban 1431 H (1 Agustus 2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
[1] Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amru Abdul Mun’im, Maktabah Al Iman, cetakan pertama, 1420 H, hal. 14.
[2]  Lihat makna “kasiyatun ‘ariyatun” di Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots, 1392, 17/191.
[3] Lihat Latho’if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428 H, hal. 277.
[4]  Matan Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Ibnu Taimiyah. Dinukil dari Syarh Al  ‘Aqidah Al Wasithiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, Darul  ‘Aqidah, cetakan pertama, 1424 H, hal. 429-430.
[5] Hilyatul Awliya’, Abu Nu’aim, Darul Kutub Al ‘Arobi, 1405, 9/115.
[6] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, Darul Muayyid, cetakan pertama, 1424 H, hal. 455.
[7] Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 378.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar