Jangan memandang keburukan-keburukan wanita saja, namun lihatlah juga kelebihan-kelebihan yang dimilikinya
Hendaknya   sang suami mengingat kebaikan-kebaikan istrinya, mengingat   kelebihan-kelebihan yang dimiliki istrinya terutama tatkala sang suami   sedang marah…sesungguhnya hal ini membantunya untuk meredakan   kemarahannya dan melatihnya berbuat adil tatkala menghukumi sikap   istrinya.
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Hendaknya  seseorang  tidak marah karena segala perkara karena pasti akan timbul  kekurangan  (kesalahan). Bahkan ia sendiri mesti berbuat kesalahan, dan  tidaklah  benar bahwasanya ia sempurna dalam segala hal. Jika demikian  maka  istrinya lebih utama untuk melakukan kesalahan. Dan juga wajib  bagi  seseorang untuk menimbang keburukan-keburukan dengan  kebaikan-kebaikan.  Sebagian istri jika suaminya sakit maka ia tidak  akan tidur semalam  suntuk untuk menjaga suaminya, ia juga taat kepada  suaminya dalam banyak  perkara. Kemudian jika sang suami menceraikannya  maka kapan ia akan  nikah lagi?, jika ia nikahpun bisa jadi ia akan  mendapati istri yang  lebih buruk dari istri yang sebelumnya”  [Asy-Syarhul Mumti’ XII/385]
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda,
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah   seorang mukmin benci kepada seorang wanita mukminah (istrinya), jika  ia  membenci  sebuah sikap (akhlak) istrinya maka ia akan ridho dengan   sikapnya (akhlaknya) yang lain” [HR Muslim II/1091 no 1469 dan الفَرْكُ maknanya adalah (البُغْضُ) benci (Lihat Al-Minhaj X/58)]
Berkata   An-Nawawi, “Yang benar adalah Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam   melarang, yaitu hendaknya dia tidak membencinya karena jika mendapati   sikap (akhlak) yang dibencinya pada istrinya maka ia akan mendapati   sikapnya yang lain yang ia ridhai. Misalnya wataknya keras namun ia   wanita yang taat beribadah, atau cantik, atau menjaga diri, atau lembut   kepadanya, atau (kelebihan-kelebihan) yang lainnya”[1]
Suami  yang  paling sedikit mendapat taufiq dari Allah dan yang paling jauh  dari  kebaikan adalah seorang suami yang melupakan seluruh  kebaikan-kebaikan  istrinya, atau pura-pura melupakan kebaikan-kebaikan  istrinya dan  menjadikan kesalahan-kesalahan istrinya selalu di depan  matanya. Bahkan  terkadang kesalahan istrinya yang sepele  dibesar-besarkan, apalagi  dibumbui dengan prasangka-prasangka buruk  yang akhirnya menjadikannya  berkesimpulan bahwa istrinya sama sekali  tidak memiliki kebaikan
Tatkala  seorang suami marah  kepada istrinya maka syaitan akan datang dan  menghembuskan kedalam  hatinya dan membesar-besarkan kesalahan istrinya  tersebut. Syaitan  berkata, “Sudahlah ceraikan saja dia, masih banyak  wanita yang  sholehah, cantik lagi…, ayolah jangan ragu-ragu…”. Syaitan  juga  berkata, “Cobalah renungkan jika engkau hidup dengan wanita seperti   ini…., bisa jadi di kemudian hari ia akan lebih membangkang   kepadamu..”. Atau syaitan berkata, “Tidaklah istrimu itu bersalah   kepadamu kecuali karena ia tidak menghormatimu…atau kurang sayang   kepadamu, karena jika ia sayang kepadamu maka ia tidak akan berbuat   demikian…”. Dan demikanlah bisikan demi bisikan dilancarkan syaitan   kepada para suami. Yang bisikan-bisikan seperti ini bisa menjadikan   suami melupakan kebaikan-kebaikan istrinya yang banyak yang telah   diterimanya. Jika sang suami telah melupakan kebaikan-kebaikan yang lain   yang dimiliki isrinya maka sesungguhnya ia telah menyamai sifat para   wanita yang suka melupakan kebaikan-kebaikan suaminya !!!.
Suami dibolehkan berdusta kepada istrinya jika ada kemaslahatannya selama tidak menjatuhkan hak sang istri
Syari’at  sangat memperhatikan keutuhan rumah tangga, sangat  memperhatikan  terjalinnya kasih sayang diantara dua sejoli,  sampai-sampai syari’at  membolehkan seorang suami berdusta kepada  istrinya atau sebaliknya  –selama masih dalam batasan-batasan yang  dibolehkan- demi untuk menjaga  ikatan kasih sayang diantara mereka  berdua.
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda
لاَ   يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ   لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِي الْحَرْبِ وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ   النَّاسِ
“Tidaklah halal dusta kecuali pada tiga  perkara,  seorang suami berbohong kepada istrinya untuk membuat istrinya  ridho,  berdusta tatkala perang, dan berdusta untuk mendamaikan  (memperbaiki  hubungan) diantara manusia” [HR At-Thirmidzi IV/331 no 1939 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani kecuali lafal (Untuk membuat istrinya ridho)]
Berkata   Ibnu Syihab, “Dan aku tidak pernah mendengar dibolehkan berdusta dari   perkataan manusia kecuali pada tiga perkara, perang, mendamaikan   diantara orang-orang (yang bertikai), dan perkataan seorang lelaki   kepada istrinya dan perkataan seorang wanita kepada suaminya” [Atsar   riwayat Muslim di shahihnya IV/2011 no 2605]
Para ulama  berbeda  pendapat tentang makna dusta yang dibolehkan. Ada yang  berpendapat bahwa  dusta tersebut adalah dusta yang hakiki, karena dusta  yang diharamkan  adalah yang memberi mudhorot bagi kaum muslimin adapun  dusta yang  dibolehkan adalah yang ada maslahatnya bagi kaum muslimin,  dan  penyebutan tiga perkara di atas adalah hanya sebagai permisalan  saja.[  Al-Fath V/300.]
Pendapat kedua menyatakan bahwa  yang dimaksud  dengan dusta yang diperbolehkan adalah tauriyah/ta’riidh  (mengucapkan  kalimat yang benar dan bukan dusta namun dengan tujuan  agar sang  pendengar memahami makna yang lain) dan bukanlah dusta yang  hakiki.  [Al-Minhaaj XVI/158, Umdatul Qori XIII/269]
Imam  An-Nawawi  berkata, “Yang dzohir adalah bolehnya dusta secara hakiki  pada tiga  perkara tersebut, akan tetapi at-ta’riidh lebih utama”[2],  dan inilah  pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hajar dan beliau membantah  pendapat yang  menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dusta di sini  adalah ta’riid  (tauriyah). [Al-Fath VI/159-160]
Akan  tetapi bolehnya dusta  antara suami dan istri ada batasannya yaitu  dengan syarat tidak boleh  sampai tingkat menjatuhkan hak salah seorang  dari keduanya.
Berkata  Al-Qodhi ‘Iyadh, “Adapun penipuan  (kedustaan) untuk menghalangi hak  suami atau hak istri atau agar suami  mengambil apa yang bukan haknya  atau sang istri mengambil apa yang  bukan haknya maka hal ini adalah  haram berdasarkan ijmak (kesepakatan  para ulama)”  [Umdathul Qoori  XIII/270, demikian juga Ibnu Hajar  menyampaikan kesepakatan ini (Al-Fath  V/300)].
Namun dibolehkannya dusta antara suami istri maksudnya adalah demi menjaga kasih sayang diantara mereka.
Berkata   An-Nawawi, “Adapun seorang suami berdusta kepada istrinya dan demikian   juga seorang istri berdusta kepada suaminya, maksudnya adalah dalam   rangka menampakan rasa kasih sayang atau untuk menjanjikan sesuatu yang   tidak lazim untuk ditunaikan dan yang semisalnya” [Al-Minhaj XVI/158]
Misalnya   seorang suami tatkala memakan masakan istrinya kemudian dia mendapati   masakannya kurang lezat, dan biasanya seorang istri jika melihat   suaminya makannya kurang selera maka ia akan bertanya, “Makanannya   kurang enak?”, maka dalam kondisi seperti ini maka dibolehkan bagi sang   suami untuk berdusta agar tidak menjadikan sang istri bersedih dan  marah  sehingga rengganglah cinta kasih diantara keduanya. Hendaknya  sang  suami berkata, “Maasya Allah masakannya lezaaat…”[3].
Akan  tetapi  yang perlu diingat janganlah sampai suami menjadikan dusta  kepada  istrinya merupakan pekerjaannya sehari-hari, akan tetapi  hendaknya ia  berdusta tatkala benar-benar dibutuhkan dan jelas  kemaslahatannya.  Karena jika sang istri sampai mengetahui bahwa ia  telah dibohongi oleh  suaminya apalagi sampai berulang-ulang maka ia  akan tidak percaya pada  perkataan-perkataan suaminya dikemudian hari,  dan bisa jadi ia akan jadi  penuh terliputi dengan sikap buruk sangka  kepada suaminya.
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1]  Al-Minhaj syarh shahih Muslim X/58. An-Nawawi menjelaskan bahwa  yang  benar dalam hadits ini adalah larangan karena dua sebab, yang  pertama  bahwasanya riwyayat yang ma’ruf adalah لاَ يفْرَكْ dengan  mensukunkan  huruf kaaf (majzum, yang menunjukan bahwa huruf لاَ adalah  لاَ  nahi/larangan) bukan dengan merofa’ (mendommah) huruf kaaf. Dan   meskipun dangan dengan riwayat marfu’ (yang berarti khobar) maka   makasudnya adalah larangan dalam bentuk khobar.
Sebab  yang  kedua  adalah kenyataan yang terjadi terkadang ada seorang suami  yang sangat  membenci istrinya yang menunjukan bahwasanya makna hadits  bukanlah  sekedar khobar ((Tidaklah seorang suami membenci….)) namun  yang benar  adalah mengandung makna larangan ((Janganlah seorang suami  membenci…))
[2] Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam  Al-Fath VI/159 bab الكذب في الحرب [3] Yang jadi masalah jika kemudian  sang istri berkata, “Kalau begitu  aku akan memasakkan bagimu setiap  hari masakan ini ???!!!!”. Oleh  karena itu suami harus pandai  mengungkapkan kata-kata seperti misalnya  ia berkata, “Masakannya lezat  sekali tapi kalau bisa tambahkan ini dan  itu…, atau ia berkata namun  variasi makanan lebih baik agar tidak  bosan…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar