Penulis: Ummul Hasan
Muroja’ah: Ustadz Subhan Khadafi, Lc.
“Tidaklah seseorang diantara kalian dikatakan beriman, hingga dia mencintai sesuatu bagi saudaranya sebagaimana dia mencintai sesuatu bagi dirinya sendiri.”
Secara nalar pecinta dunia, bagaimana  mungkin kita mengutamakan orang lain dibandingkan diri kita? Secara hawa  nafsu manusia, bagaimana mungkin kita memberikan sesuatu yang kita  cintai kepada saudara kita?
Pertanyaan tersebut dapat  terjawab melalui penjelasan Ibnu Daqiiqil ‘Ied dalam syarah beliau  terhadap hadits diatas (selengkapnya, lihat di Syarah Hadits Arba’in  An-Nawawiyah).
(“Tidaklah seseorang beriman” maksudnya  adalah -pen). Para ulama berkata, “yakni tidak beriman dengan keimanan  yang sempurna, sebab jika tidak, keimanan secara asal tidak didapatkan  seseorang kecuali dengan sifat ini.”
Maksud dari kata  “sesuatu bagi saudaranya” adalah berupa ketaatan, dan sesuatu yang  halal. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan  oleh An-Nasa’i.
“…hingga dia mencintai bagi saudaranya berupa kebaikan sebagaimana dia mencintai jika hal itu terjadi bagi dirinya.”
Syaikh  Abu Amru Ibnu Shalah berkata, “Hal ini terkadang dianggap sebagai  sesuatu yang sulit dan mustahil, padahal tidaklah demikian, karena makna  hadits ini adalah tidak sempurna iman seseorang diantara kalian  sehingga dia mencintai bagi keislaman saudaranya sebagaimana dia  mencintai bagi dirinya. Menegakkan urusan ini tidak dapat direalisasikan  dengan cara menyukai jika saudaranya mendapatkan apa yang dia dapatkan,  sehingga dia tidak turut berdesakan dengan saudaranya dalam merasakan  nikmat tersebut dan tidak mengurangi kenikmatan yang diperolehnya. Itu  mudah dan dekat dengan hati yang selamat, sedangkan itu sulit terjadi  pada hati yang rusak, semoga Allah Ta’ala memaafkan kita dan  saudara-saudara kita seluruhnya.”
Abu Zinad berkata,  “Sekilas hadits ini menunjukkan tuntutan persamaan (dalam memperlakukan  dirinya dan saudaranya), namun pada hakekatnya ada tafdhil  (kecenderungan untuk memperlakukan lebih), karena manusia ingin jika dia  menjadi orang yang paling utama, maka jika dia menyukai saudaranya  seperti dirinya sebagai konsekuensinya adalah dia akan menjadi orang  yang kalah dalam hal keutamaannya. Bukankah anda melihat bahwa manusia  menyukai agar haknya terpenuhi dan kezhaliman atas dirinya dibalas? Maka  letak kesempurnaan imannya adalah ketika dia memiliki tanggungan atau  ada hak saudaranya atas dirinya maka dia bersegera untuk  mengembalikannya secara adil sekalipun dia merasa berat.”
Diantara  ulama berkata tentang hadits ini, bahwa seorang mukmin satu dengan yang  lain itu ibarat satu jiwa, maka sudah sepantasnya dia mencintai untuk  saudaranya sebagaimana mencintai untuk dirinya karena keduanya laksana  satu jiwa sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:
“Orang-orang mukmin itu ibarat satu jasad, apabila satu anggota badan sakit, maka seluruh jasad turut merasakan sakit dengan demam dan tidak dapat tidur.” (HR. Muslim)
“Saudara” yang dimaksud dalam hadits  tersebut bukan hanya saudara kandung atau akibat adanya kesamaan nasab/  keturunan darah, tetapi “saudara” dalam artian yang lebih luas lagi.  Dalam Bahasa Arab, saudara kandung disebut dengan Asy-Asyaqiiq (  الشَّّقِيْقُ). Sering kita jumpa seseorang menyebut temannya yang juga  beragama Islam sebagai “Ukhti fillah” (saudara wanita ku di jalan  Allah). Berarti, kebaikan yang kita berikan tersebut berlaku bagi  seluruh kaum muslimin, karena sesungguhnya kaum muslim itu bersaudara.
Jika  ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin kita menerapkan hal ini sekarang?  Sekarang kan jaman susah. Mengurus diri sendiri saja sudah susah,  bagaimana mungkin mau mengutamakan orang lain?”
Wahai  saudariku -semoga Allah senantiasa menetapkan hati kita diatas  keimanan-, jadilah seorang mukmin yang kuat! Sesungguhnya mukmin yang  kuat lebih dicintai Allah. Seberat apapun kesulitan yang kita hadapi  sekarang, ketahuilah bahwa kehidupan kaum muslimin saat awal dakwah  Islam oleh Rasulullah jauh lebih sulit lagi. Namun kecintaan mereka  terhadap Allah dan Rasul-Nya jauh melebihi kesedihan mereka pada  kesulitan hidup yang hanya sementara di dunia. Dengarkanlah pujian Allah  terhadap mereka dalam Surat Al-Hasyr:
“(Juga) bagi orang  fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta  benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan  mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang  benar(ash-shodiquun). Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah  dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin),  mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka  (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati  mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin). Dan  mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri,  sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari  kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS.  Al-Hasyr: 8-9)
Dalam ayat tersebut Allah memuji kaum  Muhajirin yang berhijrah dari Makkah ke Madinah untuk memperoleh  kebebasan dalam mewujudkan syahadat mereka an laa ilaha illallah wa anna  muhammadan rasulullah. Mereka meninggalkan kampung halaman yang mereka  cintai dan harta yang telah mereka kumpulkan dengan jerih payah. Semua  demi Allah! Maka, kaum muhajirin (orang yang berhijrah) itu pun  mendapatkan pujian dari Allah Rabbul ‘alamin. Demikian pula kaum Anshar  yang memang merupakan penduduk Madinah. Saudariku fillah, perhatikanlah  dengan seksama bagaimana Allah mengajarkan kepada kita keutamaan  orang-orang yang mengutamakan saudara mereka. Betapa mengagumkan sikap  itsar (mengutamakan orang lain) mereka. Dalam surat Al-Hasyr tersebur,  Allah memuji kaum Anshar sebagai Al-Muflihun (orang-orang yang beruntung  di dunia dan di akhirat) karena kecintaan kaum Anshar terhadap kaum  Muhajirin, dan mereka mengutamakan kaum Muhajirin atas diri mereka  sendiri, sekalipun mereka (kaum Anshar) sebenarnya juga sedang berada  dalam kesulitan. Allah Ta’aala memuji orang-orang yang dipelihara Allah  Ta’aala dari kekikiran dirinya sebagai orang-orang yang beruntung.  Tidaklah yang demikian itu dilakukan oleh kaum Anshar melainkan karena  keimanan mereka yang benar-benar tulus, yaitu keimanan kepada Dzat yang  telah menciptakan manusia dari tanah liat kemudian menyempurnakan bentuk  tubuhnya dan Dia lah Dzat yang memberikan rezeki kepada siapapun yang  dikehendaki oleh-Nya serta menghalangi rezeki kepada siapapun yang Dia  kehendaki.
Tapi, ingatlah wahai saudariku fillah, jangan  sampai kita tergelincir oleh tipu daya syaithon ketika mereka  membisikkan ke dada kita “utamakanlah saudaramu dalam segala hal, bahkan  bila agama mu yang menjadi taruhannya.” Saudariku fillah, hendaklah  seseorang berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi agamanya. Misalkan  seorang laki-laki datang untuk sholat ke masjid, dia pun langsung  mengambil tempat di shaf paling belakang, sedangkan di shaf depan masih  ada tempat kosong, lalu dia berdalih “Aku memberikan tempat kosong itu  bagi saudaraku yang lain. Cukuplah aku di shaf belakang.” Ketahuilah,  itu adalah tipu daya syaithon! Hendaklah kita senantiasa berlomba-lomba  dalam kebaikan agama kita. Allah Ta’ala berfirman:
“Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqoroh: 148)
Berlomba-lombalah dalam membuat kebaikan agama, bukan  dalam urusan dunia. Banyak orang yang berdalih dengan ayat ini untuk  menyibukkan diri mereka dengan melulu urusan dunia, sehingga untuk  belajar tentang makna syahadat saja mereka sudah tidak lagi memiliki  waktu sama sekali. Wal iyadzu billah. Semoga Allah menjaga diri kita  agar tidak menjadi orang yang seperti itu.
Wujudkanlah Kecintaan Kepada Saudaramu Karena Allah
Mari  kita bersama mengurai, apa contoh sederhana yang bisa kita lakukan  sehari-hari sebagai bukti mencintai sesuatu bagi saudara kita yang juga  kita cintai bagi diri kita…
Mengucapkan Salam dan Menjawab Salam Ketika Bertemu
“Kalian  tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan  beriman sampai kalian saling mencintai. Tidak maukah kalian aku  tunjukkan sesuatu yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling  mencintai: Sebarkanlah salam diantara kalian.” (HR. Muslim)
Pada  hakekatnya ucapan salam merupakan do’a dari seseorang bagi orang lain.  Di dalam lafadz salam “Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh”  terdapat wujud kecintaan seorang muslim pada muslim yang lain. Yaitu  keinginannya agar orang yang disapanya dengan salam, bisa memperoleh  keselamatan, rahmat, dan barokah. Barokah artinya tetapnya suatu  kebaikan dan bertambah banyaknya dia. Tentunya seseorang senang bila ada  orang yang mendo’akan keselamatan, rahmat, dan barokah bagi dirinya.  Semoga Allah mengabulkan do’a tersebut. Saudariku fillah, bayangkanlah!  Betapa banyak kebahagiaan yang kita bagikan kepada saudara kita sesama  muslim bila setiap bertemu dengan muslimah lain -baik yang kita kenal  maupun tidak kita kenal- kita senantiasa menyapa mereka dengan salam.  Bukankah kita pun ingin bila kita memperoleh banyak do’a yang demikian?!  Namun, sangat baik jika seorang wanita muslimah tidak mengucapkan salam  kepada laki-laki yang bukan mahromnya jika dia takut akan terjadi  fitnah. Maka, bila di jalan kita bertemu dengan muslimah yang tidak kita  kenal namun dia berkerudung dan kita yakin bahwa kerudung itu adalah  ciri bahwa dia adalah seorang muslimah, ucapkanlah salam kepadanya.  Semoga dengan hal sederhana ini, kita bisa menyebar kecintaan kepada  sesama saudara muslimah. Insya Allah…
Bertutur Kata yang Menyenangkan dan Bermanfaat
Dalam  sehari bisa kita hitung berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk  sekedar berkumpul-kumpul dan ngobrol dengan teman. Seringkali obrolan  kita mengarah kepada ghibah/menggunjing/bergosip. Betapa meruginya kita.  Seandainya, waktu ngobrol tersebut kita gunakan untuk membicarakan  hal-hal yang setidaknya lebih bermanfaat, tentunya kita tidak akan  menyesal. Misalnya, sembari makan siang bersama teman kita bercerita,  “Tadi shubuh saya shalat berjamaah dengan teman kost. Saya yang jadi  makmum. Teman saya yang jadi imam itu, membaca surat Al-Insan. Katanya  sih itu sunnah. Memangnya apa sih sunnah itu?” Teman yang lain menjawab,  “Sunnah yang dimaksud teman anti itu maksudnya ajaran Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memang disunnahkan untuk membaca Surat  Al-Insan di rakaat kedua shalat shubuh di hari Jum’at.” Lalu, teman yang  bertanya tadi pun berkata, “Ooo… begitu, saya kok baru tahu ya…”  Subhanallah! Sebuah makan siang yang berubah menjadi “majelis ilmu”,  ladang pahala, dan ajang saling memberi nasehat dan kebaikan pada  saudara sesama muslimah.
Mengajak Saudara Kita Untuk Bersama-Sama Menghadiri Majelis ‘Ilmu
Dari  obrolan singkat di atas, bisa saja kemudian berlanjut,  “Ngomong-ngomong, kamu tahu darimana kalau membaca surat Al-Insan di  rakaat kedua shalat shubuh di hari Jum’at itu sunnah?” Temannya pun  menjawab, “Saya tahu itu dari kajian.” Alhamdulillah bila ternyata  temannya itu tertarik untuk mengikuti kajian, “Kalau saya ikut boleh  nggak? Kayaknya menyenangkan juga ya ikut kajian.” Temannya pun berkata,  “Alhamdulillah, insyaAllah kita bisa berangkat sama-sama. Nanti saya  jemput anti di kost.”
Saling Menasehati, Baik Dengan Ucapan Lisan Maupun Tulisan
Suatu  saat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya tentang aibnya kepada  shahabat yang lain. Shahabat itu pun menjawab bahwa dia pernah mendengar  bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu memiliki bermacam-macam lauk di meja  makannya. Lalu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pun berkata yang maknanya  ‘Seorang teman sejati bukanlah yang banyak memujimu, tetapi yang  memperlihatkan kepadamu aib mu (agar orang yang dinasehati bisa  memperbaiki aib tersebut. Yang perlu diingat, menasehati jangan  dilakukan didepan orang banyak. Agar kita tidak tergolong ke dalam orang  yang menyebar aib orang lain. Terdapat beberapa perincian dalam masalah  ini -pen).’ Bentuk nasehat tersebut, bukan hanya secara lisan tetapi  bisa juga melalui tulisan, baik surat, artikel, catatan saduran dari  kitab-kitab ulama, dan lain-lain.
Saling Mengingatkan Tentang Kematian, Yaumil Hisab, At-Taghaabun (Hari Ditampakkannya Kesalahan-Kesalahan), Surga, dan Neraka
Sangat  banyak orang yang baru ingin bertaubat bila nyawa telah nyaris  terputus. Maka, diantara bentuk kecintaan seorang muslim kepada  saudaranya adalah saling mengingatkan tentang kematian. Ketika  saudaranya hendak berbuat kesalahan, ingatkanlah bahwa kita tidak pernah  mengetahui kapan kita mati. Dan kita pasti tidak ingin bila kita mati  dalam keadaan berbuat dosa kepada Allah Ta’ala.
Saudariku  fillah, berbaik sangkalah kepada saudari muslimah mu yang lain bila dia  menasehati mu, memberimu tulisan-tulisan tentang ilmu agama, atau  mengajakmu mengikuti kajian. Berbaik sangkalah bahwa dia sangat  menginginkan kebaikan bagimu. Sebagaimana dia pun menginginkan yang  demikian bagi dirinya. Karena, siapakah gerangan orang yang senang  terjerumus pada kubangan kesalahan dan tidak ada yang mengulurkan tangan  padanya untuk menariknya dari kubangan yang kotor itu? Tentunya kita  akan bersedih bila kita terjatuh di lubang yang kotor dan orang-orang di  sekeliling kita hanya melihat tanpa menolong kita…
Tidak  ada ruginya bila kita banyak mengutamakan saudara kita. Selama kita  berusaha ikhlash, balasan terbaik di sisi Allah Ta’ala menanti kita.  Janganlah risau karena bisikan-bisikan yang mengajak kita untuk “ingin  menang sendiri, ingin terkenal sendiri”. Wahai saudariku fillah, manusia  akan mati! Semua makhluk Allah akan mati dan kembali kepada Allah!!  Sedangkan Allah adalah Dzat Yang Maha Kekal. Maka, melakukan sesuatu  untuk Dzat Yang Maha Kekal tentunya lebih utama dibandingkan melakukan  sesuatu sekedar untuk dipuji manusia. Bukankah demikian?
Janji Allah Ta’Ala Pasti Benar !
Saudariku  muslimah -semoga Allah senantiasa menjaga kita diatas kebenaran-,  ketahuilah! Orang-orang yang saling mencintai karena Allah akan  mendapatkan kemuliaan di Akhirat. Terdapat beberapa Hadits Qudsi tentang  hal tersebut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah berfirman pada  Hari Kiamat, “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena  keagungan-Ku pada hari ini? Aku akan menaungi mereka dalam naungan-Ku  pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Muslim; Shahih)
Dari  Abu Muslim al-Khaulani radhiyallahu ‘anhu dari Mu’adz bin Jabal  radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, dengan sabdanya,  ‘Orang-orang yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar  dari cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari yang tiada naungan kecuali  naungan-Nya.’”
Abu Muslim radhiyallahu ‘anhu melanjutkan,  “Kemudian aku keluar hingga bertemu ‘Ubadah bin ash-Shamit, lalu aku  menyebutkan kepadanya hadits Mu’adz bin Jabal. Maka ia mengatakan, ‘Aku  mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dari  Rabb-nya, yang berfirman, ‘Cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling  mencintai karena-Ku, cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling  tolong-menolong karena-Ku, dan cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang  saling berkunjung karena-Ku.’ Orang-orang yang bercinta karena Allah  berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari  tiada naungan kecuali naungan-Nya.” (HR. Ahmad; Shahih dengan berbagai  jalan periwayatannya)
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu  ‘anhu, ia menuturkan, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa  sallam bersabda, “Allah berfirman, ‘Orang-orang yang bercinta karena  keagungan-Ku, mereka mendapatkan mimbar-mimbar dari cahaya sehingga para  nabi dan syuhada iri kepada mereka.” (HR. At-Tirmidzi; Shahih)
Alhamdulillahilladzi  bini’matihi tatimmushshalihaat (artinya: “Segala puji bagi Allah,  dengan nikmat-Nyalah segala kebaikan menjadi sempurna.” Do’a ini  diucapkan Rasulullah bila beliau mendapatkan hal yang menyenangkan).  Allah Ta’aala menyediakan bagi kita lahan pahala yang begitu banyak.  Allah Ta’aala menyediakannya secara cuma-cuma bagi kita. Ternyata,  begitu sederhana cara untuk mendapat pahala. Dan begitu mudahnya  mengamalkan ajaran Islam bagi orang-orang yang meyakini bahwa esok dia  akan bertemu dengan Allah Rabbul ‘alamin sembari melihat segala  perbuatan baik maupun buruk yang telah dia lakukan selama hidup di  dunia. Persiapkanlah bekal terbaik kita menuju Negeri Akhirat. Semoga  Allah mengumpulkan kita dan orang-orang yang kita cintai karena Allah di  Surga Firdaus Al-A’laa bersama para Nabi, syuhada’, shiddiqin, dan  shalihin. Itulah akhir kehidupan yang paling indah…
Maroji’:
1. Terjemah Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyyah karya Ibnu Daqiiqil ‘Ied
2. Terjemah Shahih Hadits Qudsi karya Syaikh Musthofa Al-’Adawi
3. Sunan Tirmidzi
Taken from www.muslimah.or.id 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar